Posts Tagged ‘500’
Manajemen Waktu, Ketenangan dan Kebahagiaan
Hari minggu pagi, saya terbangun sekitar pukul 06:00, ada beberapa hal yang biasanya ingin saya lakukan, namun hari ini saya ingin melakukan hal yang berbeda. Hari minggu menurut saya sangat spesial karena malam sebelumnya saya bisa tidur larut, bisa makan sesuka saya, kali ini saya tidur awal dan makan secukupnya, sehingga saya bangun pada hari minggu dengan perasaan segar. Biasanya hari sabtu ada banyak aktivitas fisik yang saya lakukan sehingga minggu badan terasa sangat letih.
Saya berusaha tidak impulsif/obsesif lagi, saya tidak membuka HP sebagai aktivitas pertama di pagi hari. Turun dapur saya tidak impulsif merapihkan gelas-gelas yang memang sudah rapih namun belum dimasukkan kedalam lemar semalam. Saya tidak membuka buku, tidak membuka film, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah mencari ketenangan hati, kedamaian dan kebahagiaan -yang dalam bahasa modernnya adalah refleksi, atau yang dalam bahasa new age-nya adalah meditasi. Karena golden period yang saya punya setiap hari hanyalah di pagi hari, dan dalam satu minggu golden period itu hanya ada di minggu pagi. Periode, waktu, dimana saya berusaha melepaskan diri dari segala tuntutan hidup, untuk melihat diri saya secara lebih jernih -dengan tidak impulsif menghabiskan bergelas kopi atau berlembar biskuit dan roti.
Karena, buat saya, bangun pagi untuk kemudian merapihkan dapur, menyambar kopi 3 in 1 dan dua lapis roti bakar dengan coklat dan mentega, sambil mendengarkan musik, dengan membaca buku adalah perilaku impulsif yang tidak baik. Ini pada dasarnya perilaku emosional yang punya reward dopamine/adrenaline yang tidak sehat. Sama seperti tadi malam, dimana saya melihat semangkok soto betawi sebagai reward atas pressure yang saya alami dalam seminggu terakhir. Soto betawi ini adalah perilaku impulsif -perilaku emosional yang jika saya tidak memakannya -seperti yang saya lakukan kemarin- ternyata justru menghindarinya membuat perasaan hati menjadi lebih baik.
Saya teringat periode sekitar tahun 2015, tahun kedua saya sekolah, dimana sebelumnya saya bisa menghadiri conference di Leeds, di Yaroslavl, di Cologne. Ini pencapaian besar, tapi akhirnya saya melihat bahwa hal tersebut tidak bisa saya lakukan terus menerus. Pertama kesibukan keluarga, kesibukan waktu sekolah anak, dan tentunya masalah kesibukan sekolah saya sendiri. Akhirnya keputusannya memang berhenti -saya rasa semua yang mengambil sekolah pasti memutuskan untuk berhenti. Ada yang berhenti untuk fokus pada sekolahnya -saya berhenti bekerja, ada pasangan yang memutuskan berhenti bekerja, saya memutuskan berhenti menulis paper. Ada yang berhenti untuk distract dari sekolahnya -saya memutuskan berlari, ada yang memutuskan bekerja paruh waktu, ada yang memutuskan untuk berlibur.
Saya melihat sekarang, bahwasanya orang itu harus mengetahui dimana batas cukupnya. Punya pekerjaan tetap buat saya adalah titik cukup, tidak perlu lagi seseorang itu juga mengambil sekolah lagi. Kalau iya maka akan banyak konflik yang terjadi, dan dari banyak konflik itu tidak selalu dimenangkan, banyak yang harus mengalah, banyak yang harus dikorbankan. Tapi menutup mata juga tidak benar, kompetisi di dunia kerja sangatlah ketat. Mau tidak mau orang harus mengambil sertifikasi, mengambil sekolah lanjutan. Disini dibutuhkan manajemen yang baik. Dibutuhkan fleksibilitas. Dan ini salah satu hal fleksibilitas yang saya lakukan di hari minggu pagi. Ketika semuanya sudah ruwet, ketika laci sudah berantakan. Saya tidak lagi berusaha merapihkan laci. Saya keluarkan seluruh isi laci tersebut, baru kemudian saya tata kembali dari sebuah lembaran baru.
Kalau boleh saya simpulkan, mengelola jiwa (soul) pada dasarnya adalah mengelola asupan makanan, mengelola tidur, mengelola fisik, mengelola pikiran -agar tidak distract, tapi disisi lain tidak overwhelmed. Mengelola jiwa pada dasarnya adalah mengelola waktu. Karena pada dasarnya apapun bisa diraih, apapun bisa dicapai jika waktunya tersedia. Saya menarik nafas panjang, melihat lagi sekeliling -cucian. Meski sudah ada laundry tapi ketenangan hati merupakan satu-satunya media untuk bisa melihat dengan lebih jernih lagi -dengan manajemen waktu.
600 kata, Minggu pagi 20 Februari 2022
Ketenangan Hati
Menurut saya, berada di luar negeri bisa jadi merupakan salah satu periode terbaik dalam kehidupan saya. Pertama saya bisa hidup sangat sehat. Pagi diisi dengan berolahraga, berlari setiap hari. Siang diisi dengan bersama keluarga. Namun, apakah dikemudian hari ini berdampak baik? masih dipertanyakan. Sama seperti sewaktu asrama dahulu. Saya juga terbiasa hidup sehat, terbiasa berdisiplin. Tapi setelah asrama selesai. Apakah ada manfaatnya? ini saya masih kembali pertanyakan.
Masa lalu yang menghantui ini selalu menjadi pertanyaan besar buat saya. Sebenarnya, jawabannya hanya satu, jawaban yang orang mungkin keberatan untuk mengungkapkannya. Jawabannya adalah tidak berguna, orang yang lebih positif mungkin mengatakannya bahwa itu adalah bagian dari masa lalu. Hantu dari masa lalu dan kekhawatiran dari masa depan. Sejatinya orang yang paling ideal, yang paling tenang hidupnya adalah berhenti mengkhawatirkan masa lalu termasuk berhenti mengkhawatirkan masa depan. Mungkinkah hal ini terjadi?
Kemarin misalnya, dalam kondisi tubuh yang capai, saya tidak henti-hentinya berpikiran negatif. Biasanya saat saya dalam kondisi yang fit, saya selalu berpikiran positif. Pembicaraan di taxi selama satu jam misalnya, bisa saya isi dengan cerita ngalor-ngidul. Cerita mengenai pengalaman supir taxi bekerja di pertambangan misalnya, saya dengarkan selama penuh satu jam. Cerita mengenai kriminalitas di Jakarta misalnya, saya dengarkan penuh selama satu jam. Namun ada satu pembicaraan dengan supir taxi dimana saya berbicara sangat negatif. Alasannya? bisa dijelaskan, kondisi tubuh sangat letih, kekhawatiran sangat tinggi karena ketakutan terlambat, hingga ketakutan untuk melakukan hal yang sama di minggu-minggu selanjutnya. Begitu kembali di Jakarta, pikiran saya kembali positif.
Lalu ketenangan hati seperti apa yang ingin saya capai? pertama, saya mulai menyadari bahwa ketenangan hati mustahil didapatkan dalam kondisi pikiran yang tertekan. Sebagai contoh pada saat proses revisi, rapat yang hanya mendengarkan revisi yang harus dilakukan sudah cukup memberikan tekanan yang besar. Revisi tersebut tidak mungkin dilakukan, apalagi jika tidak ada pilihan.
Ketenangan hati juga tidak mungkin bisa didapatkan dalam kondisi tubuh yang letih, meski ini sangat relatif. Sebagai contoh, pagi hari menjelang rapat penting dikantor, jantung saya berdebar-debar. Padahal semalam tidur saya cukup, makan saya cukup. Sorenya ketika pulang tiba, ketika semua hasil rapat tidak memuaskan, kondisi tubuh letih. Saya merasakan bahwa saya mendapatkan ketenangan hati. Ketenangan hati didapatkan karena saya meyakini bahwa saya akan segera berada dirumah, segera melihat istri dan anak.
Pikiran bisa jadi tidak tenang, karena ada deadline yang harus dipenuhi, ada hal yang tidak sesuai dengan keinginan -semisal anak yang sakit. Kondisi tubuh bisa jadi tidak optimal, kepala pusing hidung tersumbat misalnya. Tapi saya melihat bahwa ketenangan tetap bisa didapatkan. Sebagai contoh ketenangan bisa didapatkan saat saya menulis. Mungkin ini kebiasaan kecil yang entah saya tahu manfaatnya atau tidak, tapi saya mengetahui, menyadari bahwa sesulit apa hidup yang saya lalui seminggu kebelakang, saya bisa membuat kesimpulan sederhana di hari sabtu pagi ini. Kesimpulannya adalah sesederhana melakukan apa yang saya suka.
Sebagai contoh, pekerjaan harus bisa dibatasi. Dikerjakan hanya senin hingga jumat, dilalui dari jam 8 hingga jam 5. Diluar itu, segala bentuk pemikiran harus dihilangkan. Kedua menyadari titik nol. Titik dimana satu-satunya pekerjaan yang bisa dikerjakan adalah pekerjaan saya sendiri -yang tidak bergantung dengan orang lain. Selalu ada titik satu yang bisa saya kerjakan. Setelah satu bukanlah dua, tapi satu titik satu. Artinya beban pekerjaan tidak pernah bisa dibagi. Kerjakan semampunya dengan prinsip yang sudah pernah dibuat sebelumnya.
Sabtu pagi 530 kata
Ketenangan dan kebahagiaan
Kalau saya punya banyak waktu dalam minggu yang sangat singkat ini saya ingin menulis. Dan ini yang saya lakukan pada jumat pagi, hari terakhir sebelum segalanya berakhir. Beberapa hari ini terakhir, saya merasakan ritme hidup saya mulai terbentuk dengan baik. Bangun pagi, hal pertama kali yang saya lakukan adalah segera mengambil sapu, saya membersihkan lantai rumah yang berdebu. Meski agak aneh, karena hanya ditinggal kurang dari 8 jam, lantai bawah sudah sangat berdebu. Setelah itu, tanpa henti saya memastikan rumah dalam keadaan rapih, menyiapkan sarapan pagi, dan memastikan seluruh anggota keluarga bisa berangkat sebelum pukul 06:45.
Hidup ini dipagi itu hanya saya dedikasikan untuk itu saja. Tidak ada lagi agenda untuk sholat subuh jamaah di masjid, tidak ada lagi agenda untuk lari pagi. Seluruh rangkaian dari jam 5 hingga jam 7 pagi, sepenuhnya untuk keluarga. Tidak ada lagi waktu tersisa untuk saya beraktualisasi. Jamaah di masjid adalah aktualisasi, lari pagi adalah aktualisasi, tulisan pertama di pagi hari adalah aktualisasi. Aktualisasi mungkin memberikan kebahagiaan, tapi aktualisasi sulit untuk memberikan ketenangan.
Saya merasa dengan pola seperti ini, saya lebih mendapatkan ketenangan. Mungkin kebahagiaan tidak didapatkan, tapi ketenangan pasti bisa saya rasakan. Kebahagiaan hanya bisa didapatkan jika ego ini terpenuhi. Dulu saya pernah menulis bahwa sumber kebahagiaan hanya empat: sukses, teman, keluarga, dan hobi. Orang akan merasa bahagia jika dirinya sukses berprestasi. Orang akan merasa bahagia jika anak istrinya sukses, jika hobinya sukses, jika temannya sukses. Orang bahagia jika apa yang diinginkannya tercapai. Kebahagiaan adalah tercapainya apa yang diinginkannya sementara penderitaan adalah tidak tercapainya apa yang diinginkannya.
Lalu apa itu ketenangan? menurut saya ketenangan adalah menerima takdir dengan baik. Klise? mungkin. Tapi kira-kira begini. Satu-satunya hal yang saya inginkan didunia ini adalah hal-hal yang sederhana. Saya ingin bisa berlari setiap pagi, sebelum semua aktivitas itu dilakukan. Masalahnya berlari setiap pagi saat ini tidak bisa saya lakukan. Jangankan setiap pagi, berlari seminggu sekali, disiang atau sore hari pun sepertinya tidak lagi bisa saya lakukan. Selama bertahun-tahun, saya melatih diri saya bahwa satu-satunya kebahagiaan sejati adalah dari berlari. Ketika menemukan bahwa hal yang paling sederhana yang saya biasa lakukan ini tidak bisa saya lakukan, maka kekecewaan besar saya rasakan. Saya tidak lagi bahagia. Makanan seenak apapun yang disajikan tidak bisa saya nikmati.
Mengganti dari lari menjadi kuliner tentunya sangat berbeda jauh, tapi mengganti dari lari menjadi membersihkan tanaman mungkin tidak terlalu jauh, tapi tetap saja tidak mudah. Saya menemukan bahwa lebih mudah waktu itu saya pergunakan untuk mencuci piring secara serius, sama seriusnya seperti berlari. Saya menemukan bahwa apapun yang saya dedikasikan lama kelamaan bisa memberikan ketenangan. Saya sekilas berpikir, mungkin bukan adrenaline atau endorphin yang saya dapatkan dari berlari. Ketenangan yang saya rasakan adalah ketika saya melakukan sebuah proses yang saya lakukan secara berulang-ulang.
Semoga semua orang mendapatkan apa yang diinginkannya, karena itu adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun semoga semua orang juga memahami bahwa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya biayanya tidak murah. Saya sering menyampaikan bahwa untuk memetik bunga edelweis di puncak gunung, biayanya tidaklah murah, nyawa bahkan bisa melayang, tapi tidak ada gunanya saya menyampaikan hal tersebut bagi orang yang sedang jatuh cinta dengan gunung.
Mencari ketenangan mungkin juga bukan sesuatu yang baik, sama seperti orang yang mencari kebahagiaan. Di dunia ini apa yang kita cari adalah apa yang tidak kita miliki. Semoga kita mendapatkan kemudahan, mendapatkan pencerahan dan mendapatkan apa yang selama ini kita cari.
Jumat pagi, 560 kata
Menata kembali
Hari senin kemarin, bisa dikatakan hari pertama saya bisa menikmati ketenangan yang sudah lama tidak saya rasakan. Ketenangan dimana saya bisa memastikan orang-orang terdekat saya dalam kondisi baik, sehat, aman, dan nyaman. Masa transisi yang dialami anak-anak bisa dikatakan sudah selesai per hari senin kemarin. Mereka sudah masuk sekolah seperti biasa. Istri juga sudah melewati masa transisi hampir satu bulan sebelumnya. Artinya tinggal saya yang masih menunggu melewati masa transisi yang relatif panjang ini.
Hal pertama yang saya pelajari dari masa transisi ini adalah pentingnya untuk berpikir secara jernih. Melihat secara jernih sebuah persoalan untuk kemudian mengambil keputusan, mengambil sikap yang tepat. Contoh paling mudah yang saya rasakan adalah pengalaman saya mengikuti sekolah berasrama. Sesaat setelah lulus asrama, saya melihat adanya gap yang cukup besar dilingkungan yang saya lihat. Sebagai contoh, orang yang cenderung tidak rapih dalam berpakaian, tidak mengenakan sepatu, tidak menyetrika baju. Proses penyesuaian ini berlangsung cukup lama, karena saya mendisiplikan diri untuk berpakaian rapih dalam waktu yang cukup lama. Namun, akhirnya, saya menyadari bahwa lama kelamaan saya bisa menyesuaikan diri lagi. Lama-lama menyesuaikan cara berpakaian, cara berbicara, cara bersikap. Walaupun tetap ada hal-hal kecil didalam hati saya yang saya tetap tidak menyetujuinya. Sebagai contoh bagaimana seorang kakak bersikap kepada adiknya dan sebaliknya yang menurut saya pada tingkat-tingkat tertentu berlebihan.
Sekarang kejadian yang hampir sama juga terulang kembali. Proses yang saya lalui selama 5 tahun, bersama keluarga membentuk pribadi saya yang baru. Contoh yang paling sering saya lihat adalah mengenai “disuapin” dan “ditakutin”. Disuapin adalah sebuah mekanisme dimana anak diberi makan oleh ARTnya diluar rumah. Ini adalah mekanisme yang sering terjadi, yang bisa jadi karena perpanjangan dari proses pengasuhan bayi yang sudah dilakukan sebelumnya. Disuapin ini meski yang terlihat hanya berupa makanan, namun dibalik itu ada beberapa isu yang terjadi tanpa disadari. Semisal, tidak disiplin dengan waktu, kapan waktu makan misalnya, ini akan berlanjut dengan kapan waktu bermain, kapan waktu beristirahat. Isu selanjutnya adalah ketidakmampuan anak untuk mengelola lebih jauh lagi apa yang harus dilakukannya dan bagaimana ia membagi waktunya.
Hal lain yang saya lihat adalah ditakutin. Ini adalah sebuah mekanisme dimana anak ditakut-takuti dengan simbol seperti security, polisi, dokter hingga simbol abstrak seperti penyakit. Mekanisme ini terlihat pada beberapa anak yang terlihat sangat penurut atau sangat takut pada simbol tersebut. Semisal anak tersebut tidak berani merokok jika ada orang tuanya, namun ketika tidak ada orang tuanya, anak tersebut berubah menjadi sangat berani melanggar peraturan.
Namun harus diakui, bahwa sebagaimana pengalaman saya dahulu di asrama. Mayoritas dalam hal ini adalah yang paling benar. Di kuliah dahulu, kebanyakan orang tidak berpakaian rapih. Sebagaimana sekarang, orang cenderung setuju dengan konsep pengasuhan “disuapin” dan “ditakutin”. Namun yang saya lihat, dalam jangka panjang. Orang yang berbeda dari mayoritas punya peluang lebih besar dibandingkan mayoritas orang yang tidak mempunyai pengalaman yang berbeda.
Hal ini yang saya rasa perlu saya tekankan pada diri saya, pada istri dan pada anak-anak saya. Bahwa menjadi berbeda adalah sebuah konsekuensi. Menjalani hidup yang rasanya lebih sulit adalah konsekuensi untuk sebuah kemajuan. Proses yang saya jalani selama beberapa minggu ini terasa sulit, namun begitu kita bisa menemukan sebuah titik, sebuah saat dimana kita bisa berbuat lebih baik. Maka, selanjutnya akan jauh lebih mudah, jauh lebih cepat. Semisal, hari ini, ketika jadwal sekolah sudah berjalan dengan baik, dihari ini pula saya mulai bisa berlari kembali. Anak-anak mulai bisa beristirahat dengan baik. Menata kehidupan meski perlahan namun sedikit banyak menunjukkan tanda-tanda yang semakin baik.
Dan ini saya yakin juga berlaku untuk segala aspek kehidupan yang lain, tidak hanya pendidikan, tidak hanya pekerjaan, tidak hanya relasi sosial, namun secara menyeluruh, dimana ketika seseorang berproses menjadi lebih baik maka akan ada konsekuensi hidup yang terkadang tidak mudah.
615 kata pagi 10:39
Ketenangan hati yang saya dapatkan
Dalam hidup, apa yang sebenarnya orang inginkan? kalau saya, mungkin juga banyak orang, yang diinginkan adalah ketenangan hati. Persisnya seperti apa mungkin juga sulit dijelaskan. Saya pernah punya banyak uang, sangat banyak, tapi hati tidak tenang. Tidak tenang karena uang ini suatu saat akan habis. Saya pernah punya posisi sangat bagus, tapi hati ini tidak tenang, karena suatu saat posisi saya akan jatuh. Tapi, disaat yang bersamaan juga, dengan uang saya merasa senang dan tenang, karena paling tidak untuk satu dua bulan kedepan saya punya cukup uang, saya bisa menyumbang orang tua saya. Disaat yang bersamaan juga, dengan posisi yang bagus, saya bisa membantu orang lain untuk berprestasi, untuk berbuat baik kepada orang lain.
Jadi ketenangan apa yang sebenarnya saya inginkan? ini sekali lagi mungkin pertanyaan yang sulit. Kalau melihat perjalanan saya lima tahun terakhir ini, mungkin ditahun terakhir ini saya merasa amat sangat tidak tenang. Dilihat dari seberapa seringnya saya sakit, dilihat dari seberapa seringnya saya bertengkar, dilihat dari seberapa seringnya saya kecewa, sakit hati, marah dan merasa tidak puas atas satu dan lain hal.
Sumber kemarahan saya kalau mau disederhanakan mungkin adalah kekecewaan saya akan hal-hal yang berjalan tidak seharusnya. Tidak seperti apa yang saya inginkan. Contoh paling mudah adalah anak. Seharusnya dalam kondisi seperti ini, kedua anak saya, seharusnya belajar dengan giat. Saya jauh-jauh kesini adalah untuk belajar, maka seharusnya kedua anak saya selama disini giat belajar. Kenyataannya, saya baru tersadar, bukan saya saja yang mengeluh bahwa anak-anaknya justru sebaliknya, malas belajar, dan menghabiskan waktunya lebih banyak dengan bermain game. Ini tidak hanya dikeluhkan oleh saya, tapi mungkin hampir seluruh orang tua yang saya temui.
Masih tentang anak, saya rasa ada orang tua yang mengeluh karena nilai akademik anaknya buruk, tapi sebaliknya mengagumi kemampuan sosialisasi anak yang sangat baik. Sementara ada orang tua lain yang justru sebaliknya, mengagumi kemampuan akademik yang baik, tapi mengeluh karena kemampuan sosialisasi anak yang buruk. Kedua orang tua ini kecewa, karena apa yang diharap-harapkannya justru terjadi sebaliknya. Berlawanan dengan apa yang selalu diinginkannya. “You had one job”, kalau kata meme.
Hari ini, saya bicara banyak dengan seorang teman. Teman yang pertama ini ternyata tidak begitu mengerti permasalahan yang saya hadapi. Ia mampu mendeskripsikan dengan jelas apa yang saya hadapi, bahwasanya, semisal anak adalah ibarat anak panah, yang lepas dari busurnya. Anak berubah dan tidak dapat dikendalikan, secepat apapun busur panah, angin dan hujan bisa menggoyahkan arah tujuannya. Kalau mau ditarik lebih lanjut, saya pun sama seperti anak panah tadi. Secepat dan seakurat apapun target yang ingin saya raih, angin dan hujan bisa mengubah arah dan tujuan saya.
Teman kedua, sebenarnya juga sama, mampu mendeskripsikan apa yang saya hadapi, namun ia memberikan analogi dari sisinya. Karena teman kedua ini lebih berpengalaman secara usia paling tidak, saya mendapatkan pelajaran yang lebih banyak dari teman kedua ini. Contoh-contoh yang ia berikan benar adanya. Kenapa orang bekerja keras untuk keluarganya, bukan untuk mendapatkan imbal balik dari keluarganya, bukan pula untuk suatu hari meminta tanggung jawab, balasan dari apa yang sudah diperbuatnya. Kenapa ia melakukannya adalah karena ia merasa harus melakukannya. Bayangan saya mirip seperti mengapa saya berusaha lari setiap pagi. Tidak ada alasan yang kuat, tidak pernah ada alasan yang kuat. Lari tidak baik untuk jantung, lari juga tidak berarti tubuh semakin fit hari itu, lari juga tidak selalu membuat perasaan saya menjadi lebih baik. Tapi, saya tahu, lari adalah keharusan yang saya harus lakukan, tanpa pernah tahu persis mengapa saya harus melakukannya setiap hari.
Entah mengapa, penjelasan dari teman kedua ini bisa saya terima dengan baik. Saya TIDAK lagi menghitung dengan detail rencana apa yang harus saya lakukan sepulang dari sini, saya tidak khawatir lagi. Apa yang menunggu saya didepan nantinya adalah apa yang harus saya kerjakan. Saya TIDAK lagi mempermasalahkan apa yang saya terima, betapapun tidak adilnya, betapapun sakitnya, saya bisa menerimanya. Kalau ini yang saya inginkan, kalau kondisi ini yang saya harapkan, maka sebenarnya ketenangan hati, per detik ini, per sore hari ini sudah saya dapatkan. Masa lalu, masa kini dan masa depan tidaklah perlu dikhawatirkan.
Senin sore 663 kata
Apa yang kamu inginkan dalam hidup: Menjalani hidup dengan sebaik-baiknya tidaklah mudah
Waktu saya kuliah, di awal tahun keempat, saya sebenarnya bisa saja “pasrah” dengan mengulang mata kuliah -padahal dalam mengulang mata kuliah yang sudah pernah diambil satu atau bahkan tiga tahun yang lalu ini tidak banyak ilmu yang bisa didapatkan, hasilnya juga belum tentu seperti yang diinginkan. Contoh adalah mata kuliah interaksi manusia komputer dan mata kuliah algoritma dan pemrograman. Dua-duanya meski diulang, nilainya tetap sama, ilmu tidak bertambah.
Namun buat beberapa orang, pilihan pasrah ini melegakan, comforting, karena ada perasaan tidak harus dikejar skripsi, tidak harus memikirkan apa yang harus dilakukan setelah lulus kuliah nanti. Saya pada waktu itu berpikir sebaliknya. Di awal tahun ke empat, saya memutuskan untuk tidak mengulang, menghapus mata kuliah yang dirasa tidak perlu. Fleksibilitas saya pada waktu itu mungkin adalah keunggulan terbesar saya. Tidak banyak orang yang bisa sedemikian fleksible untuk kemudian mengulang, menghapus dan menetapkan bahwa 3.00 adalah standar IPK yang acceptable. Lebih-lebih tidak banyak orang yang memutuskan untuk mengambil KP sebelum lulus kuliah dan segera bekerja di Jakarta.
Kisah ini sekarang terulang lagi, lebih dari satu setengah dekade kemudian. Namun, saat ini tidak ada fleksibilitas atas standar nilai IPK yang ada hanya durasi waktu 4 tahun atau 5 tahun. Tidak ada pilihan mengulang atau menghapus, tidak ada pilihan mengambil KP atau segera bekerja di Jakarta, yang ada adalah faktor-faktor yang lebih abstrak. Tidak ada lagi cerita memutuskan untuk beristirahat, pulang kampung atau bermain bersama adik kelas. Saat ini yang ada adalah bagaimana saya menekuni sesuatu yang sudah saya dalami, lari misalnya, membaca buku misalnya, menonton film misalnya, termasuk yang paling penting adalah bagaimana menunggu dengan baik. Writing (termasuk Running yang aktif), Watching (termasuk Reading yang pasif) and Waiting (termasuk tidak melakukan apapun) mungkin istilahnya.
Hari ini, saya berusaha menyelesaikan satu PR besar. Menonton sebuah film. Sebuah therapy yang sedang saya pelajari saat ini. Rasanya terapi menonton ini relatif efektif. Duduk diam selama satu setengah jam menyaksikan bagaimana kehidupan ini sangat kompleks untuk bisa segera diselesaikan. Dari beberapa kandidat film yang berusaha saya tonton hari ini, tidak banyak film yang bisa melewati 20 menit pertama. Kalau saya dahulu, untuk melewati 20 menit pertama itu mudah saja. Tonton film yang durasinya hanya 20 menit -sitcom misalnya.
Hidup ini sebenarnya sederhana saja. Hal yang penting yang harus dilakukan adalah menjaga pikiran agar senantiasa positif, senantiasa beroperasi dalam kondisi positif, optimis melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang baik. Solusi yang saat ini berusaha saya terapkan adalah membuat jadwal yang ketat. Selama ini saya melihat bahwa satu buah buku bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu. Sata buah film bisa diselesaikan dalam satu minggu -atau paling tidak dihari minggu. Sama seperti halnya buku yang bisa paling tidak diselesaikan pada hari sabtu.
Kemarin misalnya, ada kejadian yang menurut saya cukup menarik. Ada kalanya tidak melakukan apa-apa justru lebih baik. Dalam saat-saat kritis seringkali otak kita membuat keputusan yang salah. Salah menafsirkan keadaan, salah memperhitungkan langkah yang harus diambil. Solusi secara teknis beragam -waktu itu yang saya putuskan adalah mengabaikannya, mengubur dalam-dalam rasa penyesalan. Solusi secara teknis, pada kenyataannya tidak bisa bicara banyak. Solusi secara non teknis kedepannya akan lebih efektif menyiapkan diri menghadapi persoalan.
Minggu sore 509 kata
Bersyukur – Doa untuk kesehatan, kemudahan dan ketenangan hati
Semoga semua orang tetap optimis, do not lose hope, do not give up
Hari ini saya merasa sangat bersyukur. Pertama saya merasa kondisi tubuh sangat sehat. Padahal ini sudah masuk hari ke tiga di bulan Mei, padahal tahun 2018 kemarin, sejak 1 Mei sudah mulai minum obat anti alergi dan masih terkena blocked nose dan demam. Tahun 2018 malah berturut sejak Mei hingga Juni. Kalau melihat kondisi hari ini, meskipun lebih berat dari Mei 2018, tapi sudah banyak inovasi yang dibuat, log yang lebih baik dan waktu istirahat yang lebih cukup. Luar biasa senang karena fisik terasa sehat.
Saya jadi teringat doa yang saya panjatkan pagi ini. Semoga selalu diberikan kesehatan (good health), kemudahan (good luck) dan ketenangan hati (peace of mind). Doa ini saya ucapkan sesaat mengantar anak saya masuk ke pintu sekolah. Kesehatan ini doa yang paling mendasar, lebih banyak ungkapan syukur karena kesehatan ini biasanya orang taken for granted, tidak dianggap sesuatu yang bernilai. Karena orang sakit, menurut pengalaman saya cukup banyak faktor randomnya. Meski memang ada bulan-bulan tertentu orang mudah sakit, tapi kalau kondisi tubuh sedang baik, istirahat cukup dan obat yang tepat, orang bisa terhindar dari penyakit dan tetap dalam kondisi sehat.
Doa yang kedua yang saya panjatkan adalah meminta kemudahan dalam tiap-tiap pilihan yang saya ambil. Paling tidak dalam tiga bulan terakhir ini ada banyak pilihan yang terbukti benar dan saya sangat senang. Misalnya keputusan untuk menyelesaikan semua kewajiban sesuai dengan waktu yang sudah direncanakan sebelumnya. Keputusan-keputusan yang sudah melewati berbagai analisa untung ruginya, berbagai simulasi bagaimana pelaksanaannya. Yang terbesar mulai bagaimana tetap bekerja dengan baik, apapun situasinya hujan panas salju, apapun kondisinya letih tidak termotivasi.
Salah satu keputusan yang saya rasakan paling benar adalah mengenai pekerjaan. Mulai dari bagaimana memberikan update, mencari teman yang bisa dihubungi, hingga mencari pekerjaan yang bisa dikejar. Semuanya hingga hari ini terasa begitu mulus. Saya bisa melihat bahwa orang itu terbentuk atas keputusan yang diambilnya. Tidak ada yang namanya kebetulan. Tidak ada cerita orang yang hidupnya selalu beruntung. Orang yang beranggapan dirinya selalu beruntung adalah orang yang malas. Orang ini beranggapan bahwa tidak perlu melakukan sesuatu hal yang berat, karena ia merasa dirinya lebih smart, sehingga merasa menemukan shortcut yang lebih baik daripada orang lain. Ya mungkin mudahnya orang yang sombong.
Ini sebabnya doa yang kedua yang saya panjatkan adalah minta kemudahan atau padanan bahasa Inggrisnya adalah good luck. Maksudnya tidak semata minta keberuntungan, luck atau fortune tapi lebih minta keberuntungan yang berkah. Good luck itu saya menerjemahkannya keberuntungan yang berkah. Saya lebih baik mendapatkan kesusahan yang berkah daripada kemudahan yang justru membuat hidup menjadi susah. Karena ini konteksnya meminta, berharap, maka seperti apa yang saya sampaikan pagi tadi saat mengantar anak saya sekolah. Semoga beruntung harimu nak, semoga banyak kemudahan yang didapatkan. Teman yang baik, guru yang membahagiakan, cuaca yang tidak terik atau tidak hujan deras.
Doa terakhir yang saya panjatkan pagi itu adalah ketenangan hati. Ini mungkin doa yang paling ultimate yang saya panjatkan pagi itu. Apapun kondisi yang saya dapatkan, mungkin tidak selalu sehat, mungkin tidak selalu beruntung, tapi saya sudah ikhlas. Apapun yang saya alami, sudah sepantasnya saya terima, apapun yang saya rasakan tidak seharusnya membuat saya lepas kendali. Kalau saya senang, maka jangan sampai terlalu senang. Kalau saya sedih maka jangan sampai terlalu sedih.
England, 3 Mei 2019, 1pm 530 kata
Move on, membuka lembaran baru dengan meninggalkan lembaran lama
Terhitung sejak 1 Mei 2019 ini, saya move on, semoga. Ini akan menutup banyak hal yang saya lakukan selama hampir 5 tahun terakhir. Pertama, saya mungkin tidak ingin terlalu gegabah melihat sesuatu. Sebagai contoh, kemarin Rabobank Indonesia tutup, buat saya ini berita yang menarik sekali, karena saya mengalaminya langsung, saya bisa cerita banyak hal yang menarik, dan saya juga bisa membuat ini sebagai catatan pribadi yang mungkin kelak suatu saat saya bisa melihat kembali. Tapi sekarang, setelah move on, buat saya ini bukanlah suatu hal yang penting. Bisnis selalu demikian, terjadi perubahan, naik dan turun. Kalau dulu, ada berita mengenai penutupan Seven Eleven saya ingin segera menganalisanya, menuliskannya, namun sekarang saya rasa sudah cukup. Saya harus berhenti untuk terburu-buru bereaksi terhadap hal ini. Dan secara umum memang ini bukanlah hal yang penting buat saya.
Kedua, saya menghapus banyak aplikasi yang membantu saya survive selama 5 tahun terakhir seperti aplikasi lari garmin dan strava, 2 tahun terakhir seperti writing via Google Docs dan 1 tahun terakhir seperti Goodreads, Letterbox. Di HP saya saat ini yang benar-benar saya pergunakan hanya satu aplikasi saja: Whatsapp, selain itu semua hal bisa dilakukan via web. Ini termasuk dengan menghentikan kebiasaan untuk menulis di WordPress atau di sosial media yang kemana-mana. Tulisan yang akan saya buat nantinya cukup tulisan bertemakan “saya” yang fungsinya lebih pada relaksasi diri saya sendiri. Bukan berfungsi untuk sharing -seperti berita Rabobank tadi, juga bukan berfungsi untuk inspirasi dan motivasi. Bukan, hanya untuk relaksasi pada diri saya sendiri. Kira-kira persis seperti apa kebiasaan yang saya lakukan pada tahun 2013 dahulu.
Buat saya sekarang, hidup seharusnya lebih sederhana. Saya bangun paling lambat jam 5 pagi, dan tidur paling cepat jam 10 malam, tapi sebenarnya jam 7 malam saya sudah tidak lagi melakukan aktivitas apapun selain beristirahat. Saya tidak lagi tergesa-gesa menyelesaikan buku, menyelesaikan film atau membaca sosial media. Hiburan cukup didapatkan dari Reddit dan 9gag. Setelah selesai ritual lari di pagi hari, saya hanya ingin segera bekerja. Dalam artian masuk sebagai bagian dari sistem, mengerjakan apa yang disuruh, menyelesaikan secepatnya dalam kurun waktu yang diminta, kemudian segera pulang untuk beristirahat.
Kalau ada pelajaran paling berharga yang saya dapatkan selama 5 tahun terakhir ini adalah pelajaran untuk bisa sebebas-bebasnya untuk bereksperimen dengan hidup. Sebebas-bebasnya untuk bisa berkeliling ke berbagai negara. Sebebas-bebasnya untuk membaca buku. Sebebas-bebasnya untuk berolahraga dan segala kebebasan duniawi lainnya. Namun setelah menjalaninya, saya melihat justru keterikatan-lah yang membuat saya bahagia. Keterikatan-lah yang membuat orang bahagia. Orang yang terikat dengan kantor adalah orang yang berbahagia karena ada perasaan aman dalam hal keuangan, harga diri dan perasaan bahwa telah berbuat baik dan tidak menyakiti orang lain. Orang yang terikat dengan keluarga adalah orang yang berbahagia, terikat dengan pertemanan adalah orang yang berbahagia.
Selama 5 tahun terakhir ini, banyak hal yang membekas sangat mendalam pada hidup saya. Membekas sehingga saya tidak perlu lagi memikirkannya. Membekas sehingga saya lakukan dalam alam bawah sadar saya. Beberapa hal yang saya harapkan bisa terus membekas antara lain lari dan buku. Lari rasanya berhasil penuh, karena sudah saya lakukan jauh-jauh hari sejak November 2013, ditambah dengan aspek teknologi yang semoga tidak tergantikan. Kedua adalah buku, mungkin baru satu tahun terakhir, namun paling tidak bisa menghentikan kebiasaan saya untuk menulis berbagai hal secara random yang mungkin malah tidak ada manfaatnya. Sementara disisi lain, ada beberapa hal yang rasanya tidak berhasil membekas. Bermain alat musik, memasak, berkebun, kuliner, travelling, menulis formal seperti buku atau artikel yang tidak lagi bisa dipertahankan. Yang bisa dipertahankan hanya lari sebenarnya, karena buku mungkin kalau sudah tiba waktunya pun akan hilang.
Semoga, semoga hari ini meninggalkan kesan yang baik. Semoga bisa terus move on, berlanjut untuk kehidupan yang lebih baik.
England, hari Rabu 1 Mei 2019 jam 1 siang 613 kata
Takdir, saya tidak memilih Takdir yang menetapkan jalan hidup saya
Salah satu titik turning point paling penting dalam hidup saya adalah ketika saya akan masuk SMA. Di titik itu sebenarnya ada kemungkinan saya untuk menolak masuk sekolah asrama. Setelah titik itu terlewati tidak ada lagi kesempatan untuk berubah. Saya hingga hari ini masih membayangkan seandainya saya tidak masuk sekolah asrama. Ada banyak kemungkinan hidup yang berbeda sekali dengan saat ini. Salah satunya, sudah pasti saya akan kuliah di Bandung.
Jadi ketika akan masuk kuliah, menurut saya itu bukan turning point yang penting. Justru turning point yang paling penting adalah ketika saya akan masuk firma. Keputusan yang saya buat untuk masuk firma itu selanjutnya mempengaruhi perjalanan hidup saya. Seandainya saya menolak masuk firma, sudah pasti saya tidak akan memiliki pendidikan lanjut termasuk saya juga tidak akan memiliki pekerjaan berbasis proyek yang mobile.
Seandainya, saya masuk SMA ditempat kelahiran saya, saya pasti akan kuliah di Bandung, itu premis yang masih saya yakini. Namun ketika sekolah asrama sekalipun, sebenarnya saya bisa mengkoreksinya, tapi ini pun sangat sulit untuk dilakukan karena saya sudah tertarik pada komputer jauh pada waktu SMP. Kemungkinan besar meski ingin diperbaiki sekalipun saya tidak akan kuliah di Bandung.
Pekerjaan juga sama, saya sudah pernah bekerja di end user, namun saya menyadari bahwa persaingan terlalu berat jika tanpa sertifikasi. Ketika saya mencoba memperbaiki lagi setelah 3-4 tahun bekerja, saya menyadari bahwa end user justru lebih berisiko dibandingkan bekerja di firma. Akhirnya, ini yang terjadi, seperti hari ini. Saya menghabiskan 15 tahun perjalanan karir saya, 9 tahun saya habiskan di firma dan hanya 2 tahun saya menghabiskan di user.
Lalu apa artinya dari pengalaman ini sebagai pelajaran saya kedepan. Mungkin, ini mengingatkan saya tentang takdir. Saya sempat berusaha melawan takdir, pindah ke user, yang ternyata meski sudah saya coba lakukan ternyata tidak berhasil. Saya sempat berusaha melawan takdir, kuliah, yang ternyata meski sudah saya lakukan juga tidak berhasil. Ada faktor yang lebih kuat. Faktor saya mengenal komputer pertama kalinya pada saat SMP. Faktor saya dilahirkan di Cirebon, hingga faktor fisik jasmani dan emosi yang saya miliki.
Karena percaya dengan takdir, saya percaya bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa diubah, dan ada hal-hal yang bisa dirubah. Hal-hal yang tidak bisa diubah ini dan yang bisa diubah, hanya bisa diketahui setelahnya. Bisa berbulan setelahnya, bisa bertahun setelahnya atau bahkan seumur hidup tetap menjadi misteri. Masuk sekolah asrama mungkin salah satunya.
Sebagai contoh, sewaktu awal bekerja saya kerap kali membandingkan antara pekerjaan dengan jalur karir fungsional dan struktural, namun konteksnya lebih banyak pada perusahaan end user. Ketika memutuskan di firma, tidak ada lagi pekerjaan fungsional atau struktural, yang ada adalah perbandingan antara industri finance dan non-finance. Orang pada dasarnya tidak memilih jalur karir mana yang diambil, juga tidak memilih jalur industri mana yang diambil, orang pada dasarnya harus patuh, tunduk dan menjalani sebaik-baiknya takdir yang didapatkannya.
Kalau ditakdirkan sustainable energy, bukan strategic management maka lakukan sebaik-baiknya. Kalau ditakdirkan sustainability, bukan renewable energy maka lakukan sebaik-baiknya. Kalau ditakdirkan punya masalah kesehatan, punya masalah keuangan, punya masalah emosional, maka jalanilah sebaik-baiknya. Apa yang terjadi hari ini, seminggu yang lalu atau setahun yang lalu mungkin terlihat mengerikan, apalagi kalau membayangkan dampaknya kedepan. Tapi kalau melihat apa yang dulu dikhawatirkan, lima tahun yang lalu misalnya, kebanyakan ketakutan itu sebenarnya tidak perlu.
England, 28 April 2019 07:11 530 words
A day in a life
Let’s do it again. I finish everything by 10am. I get to rest for one hour, write something, watch something. I want to lay down and have more time to do nothing as it weekend. However, I realized that I should not do that. By 10.45, I already prepare my children clothes, prepare a bike and ready to go by 11am. However, I am not lucky. There is a problem with the back door. This is unexpected. I have checked the bike since yesterday, checking the air pressure, everything is fine. But, there is always a thing that you can not predict.
I went to the city by 11am, by 5 meters from home, I just realize that I forget the bike lock. The problem with the key is distracting my mind. I almost forget the helmet, confused and decided to speculate to go to the city with a single bike lock, the smallest that I have. I can not go back, the children will get more upset if I go back to get the bike lock. Saturday will not be fun anymore.
I arrive on time. The city center junction is under maintenance. I took the park quite far from the usual place. I worry about the safety of the bike. But I try to ignore it. In the restaurant, I still feel under pressure. Ordering the food from the machine makes me nervous. What if I choose the wrong item, what if I choose not a smart choice e.g instead buying item per item, it is always cheaper to buy a package. The ordering food is very stressful. I use a combination of machine and till. I need at least more than 4 times walking to the counter, 2 for order and 2 for ketchup. After that I still need to clean up, still, need to go to the toilet. Not mention making sure that the children eat such as opening the food, bottle, toys and making sure that they are not fighting, not getting annoyed by other people or children, and make sure that they are not bored. It is so stressful, that to be honest I did not enjoy it. Why can we just sit down in the table, wait for the waiter to come, decide the food and go home? Well there are a million reasons for it 1) this restaurant is cheap 2) children need to go outside 3) it has a toilet and more.
After lunch, I went to the shop, buy things is a must. Buying things give happiness. It gives a sense of independence in making a choice, a sense of excitement buying new things. But the process of this buying is not easy. If there are two children, each of them is competing, they want to have better things. It is also not easy for children to decide what things they want to buy. And another unexpected problem arises. I forget to bring 20p to the toilet, this should be a lesson for the future.
It takes around one hour to eat, one hour to buy toys, and one hour to buy clothes, and the last one hour to buy goodies. Well in total I spend less than four hours. I can see they are tired of walking. It already reaches the maximum time to walk by around 2 hours. Actually, after buying a cloth I can go back to home. But it is also a good decision since I did not go to the book shop.
I arrive at home safely by around 3pm. Prepare cake, present and finish everything by around 3:30pm. After that I want to get rest, this is the second resting session in the afternoon. But I remember I still have a lot of things to do: buy raw food in the shop, cooking and tidying washed clothes. It is a very busy day. I did something good, but I also did something not good. Tomorrow I will do better.
665 words