Anjar Priandoyo

Catatan Setiap Hari

Posts Tagged ‘Education

Rumpun Dikti

leave a comment »

Waktu kuliah dahulu, menjelang kelulusan, saya sangat galau menentukan dimana nanti saya harus bekerja. Setelah melakukan riset secara mendalam, ketemu banyak orang dan berbagai analisa SWOT, saya memutuskan paling tidak ada 3 jalur pekerjaan, berdasarkan skala prioritas yang bisa saya ambil.

  • Banting-Setir, menjadi Management Trainee, termasuk ODP, MDP, GDP, PCPM dan program sejenisnya. Ini juga menarik, baik BUMN atau Multinasional, sudah banyak cerita sukses dari program ini
  • Banci, Menjadi ABAPer, Functional atau SAP Basis lainnya. Ini pilihan yang menarik, sudah ada senior yang cukup sukses, sudah banyak cerita mengenai bagaimana mantan tim implementasi SAP mendapatkan posisi yang lebih tinggi paska implementasi.
  • Back-to-Basic, menjadi engineer, programmer dan segala yang berhubungan teknis dengan latar belakang pendidikan.

Saya rasa peringkat ini berlaku bagi orang IT secara umum, rata-rata ingin banting setir dari bidang aslinya, tapi tetap dalam koridor gaji yang besar. Kenyataannya? tidak seindah apa yang kita rencanakan. Buat saya sendiri misalnya, saya gagal mendapatkan kesempatan dalam jalur banting-setir dan jalur banci. Kenyataannya yang paling mudah didapatkan adalah jalur yang back-to-basic mengandalkan latar belakang pendidikan saya.

Buat beberapa teman yang lebih beruntung dari saya, meski mendapatkan kesempatan banting setir, semisal lewat program management trainee. Cukup banyak yang memutuskan untuk kembali ke jalur back-to-basic, mulai dari pertimbangan gaji yang relatif lebih kecil, risiko ditempatkan diluar kota, hingga risiko mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai. Misal, cita-citanya menjadi program MT dalam bidang sales, kenyataannya ditempatkan program MT dalam bidang IT, atau malah tidak terkait sama sekali misalnya bidang inventory.

Singkat kata, hampir 15 tahun kemudian, saya kembali bimbang. Paling tidak ada beberapa pilihan yang bisa saya ambil setelah selesai nanti. Dan pilihan yang tersedia sebenarnya sama persis dengan apa yang bisa saya pilih: Banting-setir, banci atau back-to-basic.

Ilmu Manajemen (570)
S3 Manajemen Industri (576)
S2 Manajemen Industri (576)
S1 –

Bidang Ilmu Keteknikan Industri (430),
S3 Teknik Energi (433)
S2 Bidang Keteknikan Industri Lain Yang Belum Tercantum (446)
S1 –

Bidang Teknik Sipil dan Perencanaan Tata Ruang (420)
S3 Teknik Lingkungan (422)
S2 Bidang Teknik Sipil Lain Yang Belum Tercantum (429)
S1 –

Bidang Teknik Elektro dan Informatika (450)
S3 Teknik Tenaga Elektrik (452)
S2 Bidang Teknik Elektro dan Informatika Lain Yang Belum Tercantum (469)
S1 Ilmu Komputer (459)

Written by Anjar Priandoyo

Agustus 7, 2017 at 7:08 pm

Ditulis dalam Science

Tagged with

Guru Besar Ilmu Komputer

leave a comment »

Salah satu keunggulan bekerja sebagai akademisi adalah adanya “Jabatan Fungsional”. Jabatan Fungsional ini merupakan bentuk penghargaan terhadap sebuah keahlian/keterampilan dari seorang karyawan. Guru Besar adalah jabatan fungsional yang didapatkan secara bertingkat dari Asisten Ahli – Lektor – Lektor Kepala dan Guru Besar.

Artinya seorang karyawan universitas, bisa dengan fokus mengembangkan penelitiannya dan mendapatkan benefit yang layak. Ini mirip dengan karir di perusahaan yang mengakomodir fungsi spesialist. Misalnya spesialist Database Oracle yang gajinya sama dengan gaji seorang GM IT.

Jabatan fungsional ini sebenarnya adalah salah satu alternatif yang bisa ditempuh. Alternatif lainnya adalah jabatan struktural seperti Kepala Jurusan, atau jabatan struktur non akademik seperti Kepala Puskom.

Banyak pengukuran tingkat kemajuan sebuah negara dilihat dari jumlah guru besar yang dimiliknya. Namun, pada kenyataannya membentuk sistem per-guru-besar-an jauh lebih rumit dari sekedar memberikan penghargaan pada seseorang yang sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan.

Guru Besar Ilmu Komputer:

  • Arif Djunaidy (b1958), Ir ITS 1984, MSc Manchester UK 1988, PhD Manchester UK 1992, Prof ITS Feb 2005 (46thn) (Data Engineering and Management)
  • Chan Basaruddin (b1961), SSi UGM 1984, MSc Manchester UK 1986, PhD Manchester UK 1990, Prof UI 2007? (Numerical Computation
  • Suhono Harso Supangkat (b1962), Ir ITB 1986, Dr Tokyo Japan 1998, Prof ITB Feb 2009
  • Zainal Arifin Hasibuan (b1959), Ir IPB, MLS Indiana, PhD Indiana US 1995, Prof UI April 2012 (Computer Science)
  • Munir (b1970?), Manajemen UPI, MIT UKM Malaysia 1997, Dr UKM Malaysia 2001, Prof UPI (Information Communication Technology) Apr 2014
  • Sri Hartati (b1964?), SSi UGM 1986, MSc Brunswick Canada 1990, PhD Brunswick Canada 1996, Prof UGM Juni 2014 (Artificial Intelligence)
  • Moedjiono (b1949), AAL 1971, MSc Naval Postgraduate US, PhD George Washington 1999, Prof Budi Luhur Oct 2014 (Computer Science)
  • Ridwan Sanjaya (b1977), SE Undip 2001, MS.IEC AU Thailand, 2006, Phd AU Thailand 2011, Prof Soegijapranata Jul 2017 (Information System)

Written by Anjar Priandoyo

Agustus 7, 2017 at 10:25 am

Ditulis dalam Science

Tagged with

Cara menjadi sukses di Indonesia: lulus ujian

leave a comment »

Untuk menjadi sukses di Indonesia sebenarnya relatif mudah: lulus ujian. Contoh, seorang anak daerah di sebuah desa kecil, bisa masuk ke SMP terbaik di kecamatannya, dari SMP terbaik di kecamatannya, dia bisa masuk di SMA terbaik di kabupatennya. Lulus SMA terbaik ditingkat kabupaten maka bisa memberinya tiket untuk lulus pendidikan tinggi di tingkat nasional. Ya, ditingkat nasional, tidak perlu lagi di tingkat provinsi.

Contoh, seorang anak SD dari desa kecil di Takengon, bisa naik ke tingkat kecamatan, dan kemudian pindah ke tingkat kabupaten saat menempuh SMA. Setelah itu si anak bisa mengikuti seleksi Taruna Kepolisian misalnya, dan dia bergabung dengan sekitar 330-an taruna yang lain, jumlah ini rata-rata adalah sekitar 10 orang setiap provinsi. Maka setelah itu hidupnya selesai: sukses.

Memang ada faktor lain, seperti bagaimana keluarga mengarahkan anak tersebut untuk menjadi profesi tertentu. Semisal, kebanyakan mahasiswa kedokteran punya orang tua yang berprofesi sebagai dokter. Namun yang paling mendasar adalah bagaimana kinerja anak itu sendiri. Contoh, fenomena anak daerah tadi, anak daerah secara umum mungkin relatif sulit bersaing dengan anak Jakarta. Namun, pada beberapa kategori anak daerah memiliki kesempatan yang sama contoh untuk profesi kedinasan seperti tni/polri, dokter, pegawai negeri, PTN.

Indonesia adalah negara yang luas, maka menjadi birokrat merupakan pilihan berkarir yang menarik. Menjadi pegawai PLN misalnya, pada prinsipnya mirip sebagai birokrat karena harus melayani (beroperasi) di wilayah yang sangat luas. Dan satu-satunya cara agar sistem birokrat yang efisien bisa berjalan adalah dengan sistem ujian yang terbuka. Dan perkiraan saya, sistem ujian masuk ini relatif tidak korup.

Hanya, model seperti bisa jadi tidak efektif kedepannya. Contoh, anak daerah yang gagal berkompetisi ditingkat kecamatan, akan tetap di desanya hingga tingkat SMA. Kemudian anak ini akan tetap bekerja dalam tingkat kecamatan, misalnya menjaga warung atau bertani. Ditingkat nasional juga bisa jadi buruk, semisal anak yang tidak mampu masuk PTN karena gagal ujian, harus menempuh PTS yang biayanya relatif mahal. Atau anak ini bisa memilih sekolah yang tidak berkualitas, sehingga lulus PT pun tetap menyulitkannya untuk mencari pekerjaan. Sulit karena untuk mencari pekerjaan pun komponen utamanya adalah lulus ujian.

Catatan: Contoh, tahun 2017 ini Akpol menerima 282 taruna (247 pria, 35 wanita), diumumkan 3 Agustus 2017. Namun persaingan tidak mudah, 34% taruna akpol tercatat orangtuanya berprofesi sebagai polisi, 6% berorangtua TNI. Artinya hanya 59% yang berasal dari non Polri/TNI. Dari jumlah pendaftar sekitar 20,000 orang untuk quota 300 orang, artinya dengan rasio 1:60, dimana slot perempuan sekitar 15-20%. Untuk TNI secara keseluruhan hampir sama, sebagai gambaran, jumlah perwira TNI/Polri yang dilantik 25 Juli 2017 berjumlah 292 Polri dan 437 TNI.

Tambahan, di Nigeria 23% lulusan universitasnya menganggur, di UK sekitar 3-4%.

Written by Anjar Priandoyo

Agustus 6, 2017 at 6:59 pm

Ditulis dalam Life

Tagged with

Universitas Surya

leave a comment »

Universitas Surya berdiri tahun 2013, artinya per hari ini Juli 2017 sudah ada empat angkatan. Jumlah total mahasiswa 1247 orang.

Tahun 2013, mahasiswa 250 orang (beasiswa aka student loan)
Tahun 2014, mahasiswa target 1000 (500 tanpa beasiswa), mendaftar 400 orang
Tahun 2015, (800 tanpa beasiswa)
Tahun 2016, (1000 orang tanpa beasiswa)

Perkiraan target mahasiswa 1000 orang
Jumlah jurusan 12, jumlah doktor 200, universitas berbasis riset pertama

22 Jul, Tempo menurunkan berita mengenai kredit macet universitas Surya
25 Jul, berita mengenai universitas surya sudah masuk group WA
25 Jul, diliput secara intensif oleh tempo, kontan
27 Jul, tempo mensummary-kan secara detail masalah surya university, terkait land permit, student loan (280 orang), teaching quality
28 Jul, dilaporkan penipuan tanah, diliput kompas, most popular detik.com

Sama seperti cerita universitas sgu, yang pemberitaannya begitu masif di akhir 2016.

Dan ini juga update pada 4 Juli 2017 tentang bisnis universitas

Update: 28 Jul 2017, latest news

Written by Anjar Priandoyo

Juli 25, 2017 at 12:01 pm

Ditulis dalam Work

Tagged with

Produktivitas Peneliti

leave a comment »

Tulisan klarifikasi dari LIPI seperti ini sebenarnya menarik. Ada isu mengenai (kecemburuan) anggaran. Ada isu mengenai (kesenjangan) kualitas. Sebuah permasalahan yang dihadapi negara modern, yang ingin meningkatkan kualitas pendidikannya, tapi disisi lain dihadapkan dengan kenyataan yang ada. Kenyataan industri pendidikan dan penelitian itu sendiri yang masih relatif muda usianya. Muda karena disampaikan bahwa ITS (berdiri tahun 1957) tercatat sejak 1961, dan ITB (berdiri tahun 1959) sejak 1965, LIPI baru berdiri pada tahun 1967. Sebagai perbandingan UoYork yang berdiri tahun 1963 memiliki peringkat publikasi tinggi.

Jadi tidak aneh, kalau kita meneliti maka informasi yang kita dapatkan justru dari instansi semacam:
– Institusi International: World Bank, IEA, FAO
– Institusi Nasional: US (USDA, USDE/EIA), Japan (JICA, Ministry of Environment), Jerman GTZ dan seterusnya.

Written by Anjar Priandoyo

Juli 6, 2017 at 3:29 pm

Ditulis dalam Work

Tagged with

Bisnis Pendidikan vs Bisnis Penelitian: Sepakbola

leave a comment »

Di Indonesia, dosen menurut UU 12 2012 (PT) atau menurut UU 14 2005 (Guru Dosen) adalah Pendidik dan Ilmuwan. Artinya ada dua bidang bisnis dimana seorang dosen berada. Bisnis penelitian dan bisnis pendidikan. Sementara guru hanyalah pendidik yang tidak berkewajiban penelitian.

Bisnis Pendidikan dan Penelitian adalah “Highly regulated industry” sama seperti perbankan. Bisnis perbankan dengan UU 10 1998 membagi dengan sangat ketat definisi bank (menghimpun dana masyarakat) padahal jenis bisnisnya sama, bisa dibagi hingga menjadi belasan definisi (e.g bank, bpr, ksp, bmt dkk)

Bisnis Pendidikan bisa diduplikasi, namun bisnis penelitian tidak mudah diduplikasi. Contoh sederhana, UGM untuk peringkat subject engineering citation tertinggi UGM hanya sekitar 100 sementara York mencapai 1000, untuk subyek yang lain seperti lingkungan pun hampir sama. Tingkat citation UGM hanya sekitar 10%-nya saja. Padahal, UGM salah satu universitas tertua dan terbesar di Indonesia.

Fenomena ketertinggalan bisnis tidak hanya terjadi di dunia penelitian, tapi juga di dunia sepakbola, yang diulas dengan sangat bagus oleh penulisnya. Kira-kira kutipannya sbb:

“…Indonesia seharusnya mengikuti transformasi ekonomi secara bertahap, (bila tidak jurang antara si kaya dan si miskin menjadi semakin lebar dan dalam) untuk itu yang menjadi fokus seharusnya Pertanian. Saat ini Indonesia masuk ke de-industrialisasi padahal sarjana hanya 4% populasi…”

Written by Anjar Priandoyo

Juni 4, 2017 at 7:06 pm

Ditulis dalam Work

Tagged with

Jurusan cepat dapat kerja

leave a comment »

Dari data Forlap Dikti, jumlah mahasiswa di Indonesia sekitar 5.03 juta. Dari jumlah itu, saya cukup terkejut mengetahui bahwa menjadi tenaga pendidik dan tenaga kesehatan merupakan jurusan yang paling diminati mahasiswa di Indonesia. Tenaga pendidik atau guru, identik dengan kemudahan mendapatkan pekerjaan dan tunjangan yang baik. Sementara, tenaga kesehatan, identik dengan juga kemudahan mendapatkan pekerjaan -banyak orang yang sakit dan identik dengan kemuliaan -sama seperti guru tadi.

Menjadi tenaga pendidik atau kesehatan bukanlah hal yang buruk, namun dari sudut pandang industrialisasi kedua profesi ini tidak memberikan kontribusi secara langsung dibandingkan mereka yang bergerak di bidang industri/teknik.

Memajukan pendidikan teknik bukanlah pekerjaan mudah. Pemerintah harus bekerja sama dengan industri untuk memastikan bahwa lulusan universitas terserap di Industri.

Dari jumlah mahasiswa tersebut 42% adalah mahasiswa sosial, 23% mahasiswa pendidikan, 10% mahasiswa kesehatan, Teknik+MIPA 20% dan sekitar 4% mahasiwa pertanian.

Written by Anjar Priandoyo

Mei 31, 2017 at 2:44 pm

Ditulis dalam Work

Tagged with ,

Cara memilih Jurusan Favorit

leave a comment »

1.Pilihlah jurusan yang persaingannya tidak ketat (Pilih jurusan teknik)
Mengutip dari tulisan Amich Alhumami (Kompas, 2016), dari jumlah mahasiswa di Indonesia sebanyak 5.228.561, yang menekuni bidang sains-keteknikan (MIPA, teknik, kedokteran, kesehatan, dan pertanian) hanya 1.593.882 (30,5 persen), sedangkan yang menekuni bidang ilmu sosial-humaniora (ekonomi, manajemen, politik, hukum, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan agama) sebanyak 3.634.679 (69,5 persen). Artinya kompetisi lebih mudah dalam jurusan Teknik 30% dibandingkan jurusan Sosial 70%

2.Jangan memilih jurusan favorit
Jurusan yang paling banyak peminatnya bukan berarti jurusan yang paling berprospek, contoh Universitas Brawijaya dalam rilisnya mengatakan rasio peminat tertinggi adalah ilmu hukum. UGM mengatakan bahwa jurusan favoritnya adalah Farmasi, Dokter dan Sipil. Apakah jurusan tersebut yang paling berprospek? saya sih tidak percaya, universitas pasti ada “kepentingan” mengatakan jurusan mana yang paling baik. Bisa jadi di Universitas A jurusan unggulan adalah Arsitek sementara di Universitas B jurusan unggulan adalah Biologi.

Bagaimana bila peringkat jurusan favorit dilakukan oleh pihak ketiga? survey Tirto mengatakan jurusan favorit adalah Komunikasi, Psikologi dan Arsitek atau survey yang lain mengatakan bahwa jurusan favorit adalah Informatika, Kesehatan, Farmasi

Written by Anjar Priandoyo

Mei 31, 2017 at 2:36 pm

Ditulis dalam Work

Tagged with

Perlukah kita mengambil S2 (MM/MTI)?

leave a comment »

Pertanyaan ini pernah saya tanyakan pada diri saya sendiri beberapa tahun yang lalu, dan sekarang saya tanyakan lagi kepada diri saya. Perlukah kita mengambil S2? jawabannya adalah: Perlu.

S2 adalah program peningkatan kapasitas diri. Sama seperti pertanyaan perlukah kita berolahraga padahal kita pasti akan mati. Dengan mengambil S2 maka kita akan mengalokasikan sebagian waktu kita atau istilahnya menginvestasikan pada satu hal yang bermanfaat dalam jangka panjang, dalam bentuk selembar kertas.

Pertanyaan yang lebih tepat sebenarnya ini:

1.Mana yang lebih baik program sertifikasi atau S2?
Jelas sertifikasi (PMP, CISA, CIA, CFA) karena lebih murah, effortnya lebih pendek bisa dalam 3-6 bulan. Potensi peningkatan karir lebih besar. Tapi pertanyaan ini juga sebenarnya kurang tepat, ditanyakan karena biasanya orang akan mengambil dua-duanya, dan orang tersebut akan menjadi semakin kompetitif.

2.Bagaimana menyelesaikan S2 (atau sertifikasi) secepatnya?
S2 harus diselesaikan secepatnya, dan didapatkan secepatnya. Di Inggris, yang mengambil S2 atau S3 biasanya langsung lulus dari S1. Jadi tidak menunggu waktu lama. Artinya umur 27 tahun sudah selesai S3. Nah untuk menyelesaikan S2 ini dengan cepat maka kita harus mengetahui bagaimana struktur programnya e.g kisi-kisi ujiannya dan bagaimana bisa menyelesaikan tugas dengan cepat.

3.Bagaimana memanfaatkan (mengkapitalisasi) S2?
Ini pertanyaan yang susah, karena manfaat S2 sangat abstrak. Mengerti mengenai konsep Strategi tidak berarti lebih pintar memilih. Pandai konsep Project Management tidak berarti bisa mengerjakan proyek dengan lebih baik. Mau tahu yang lebih abstrak lagi? “networking”. Klaim bahwa mengambil S2 berarti akan mendapatkan network yang lebih banyak.

Written by Anjar Priandoyo

Mei 18, 2017 at 4:58 pm

Ditulis dalam Business

Tagged with ,

Text Book vs Academic Book

leave a comment »

Telat sekali, baru menyadari bahwa text book itu berbeda dengan academic book. Kalau kita mencari buku mengenai ilmu lingkungan, maka kita bisa mendapatkan text book ilmu lingkungan di perpustakaan. Namun bila kita mencari buku mengenai pencemaran udara, maka hampir dipastikan kita tidak akan mendapatkan text book pencemaran lingkungan. Yang ada, adalah academic book pencemaran lingkungan, terbitan springer atau elsevier.

Ilmu Lingkungan = Jurusan S1
Pencemaran Udara = Jurusan S2

Begitu juga kalau kita mencari buku mengenai energi, hampir dipastikan text buku mengenai energi sedikit sekali, atau hampir tidak ada. Tapi kalau kita mencarinya dalam academic book, maka ada banyak sekali buku mengenai energi. Buku Akademik mengenai bioenergi sangat banyak sekali, sama banyaknya seperti buku Piezoelectricity, Battery.

Teknik Elektro = Jurusan S1
Energi = Jurusan S2

Ini trend yang sama untuk S2 Manajemen, S2 Security, S2 Manajemen TI. Dan kedepannya S2 ini akan (sudah, sedang) menjadi program yang berdiri sendiri, berbeda dengan program S1. Menjadi program yang independen, berorientasi profit dan fokus. Saya baru lihat di UGM sendiri jurusan S2 energinya dipegang oleh fakultas, dengan dosen-dosen yang berasal dari jurusan yang berbeda-beda. Jadi Jurusan Energi bukan monopoli jurusan Elektro atau jurusan Fisika.

Ini juga berlaku pada bidang yang aneh dan spesifik, misalnya Jurusan Keuangan, Jurusan Strategic Management, Jurusan Engineering Management. Ini adalah ranah bisnisnya S2. Bidang yang spesifik dan realistis kondisi di lapangan. S1 sifatnya adalah mengajarkan ilmu yang general.

https://psmag.com/social-justice/point-academic-books-publishing-writing-literature-96610

Written by Anjar Priandoyo

Mei 18, 2017 at 4:16 pm

Ditulis dalam Science

Tagged with